“Apa sih Lit ... udah deh gue baik-baik aja ah.. hoaammm”
cuek Ciki sambil ngulet.
“Drap drap drap” derap langkah pak Yoko yang mendekat cuma
bisa bikin Lita mringis merinding. “Ciki Ciki!!” suara khas kebapak-bapakan yang
paling horor buat didengar terdengar sedikit marah.
Tundukan tidur Ciki di mejanya udah gak senyaman beberapa
menit yang lalu, dalam sadar dia mulai mengatur strategi supaya gak kena marah.
“Iya pak?” jawab Ciki sok lemas sambil perlahan mengangkat kepalanya.
“Kamu tidur ya? Saya menyampaikan materi virus sama sekali
tidak mengandung unsur dongeng. Bisa-bisanya kamu tidur.”
“Hehe, maaf pak. Saya agak pusing sedikit nih pak, mau
ninggalin kelas saya nggak enak kan pelajarannya Pak Yoko cuma sekali seminggu
nih.”
“Benar kamu pusing? Kalau begitu ke UKS saja, kamu boleh
istirahat dulu. Tapi pastikan kamu meminjam catatan teman kamu untuk mengejar
ketertinggalan,” jiwa disiplin tinggi Pak Yoko muncul.
“Trimakasih pak.” Senyum manis yang dia punya Ciki tujukan
buat Lita teman sebangkunya yang memperhatikan dia sambil geleng-geleng.
Waktu keluar kelas jelas aja dia bisa jalan segar bugar.
Ciki itu anaknya jarang sakit, karna dia suka makan buah sama olahraga. Dengan
begitu semangatnya dia masuk ruang UKS tanpa terbesit rasa bersalah sedikit pun
dihatinya. Dia merebahkan badannya di kasur yang lumayan untuk menghabiskan waktu. Dia goyangkan gantungan
handphone bebeknya, paruhnya bisa terkatup-katup bila digoyangkan. Masih bosan,
30 menit menjelang waktu istirahat terasa begitu lama.
Saatnya beraksi pikirnya, dia mencoba melongok ke seberang,
kelas XI IPA 1 kelas dimana berada pujaan hatinya, Vino. Penglihatan dari
sela-sela kaca jendela tidak memuaskan baginya. Karena begitu ingin
memperhatikan, dia berjalan ke pintu ruang UKS. Bel istirahat berdering. Ciki
kaget, seorang yang keluar pertama kali dari kelas tersebut adalah Vino.
Gerak tubuh Ciki yang tidak wajar, menjinjit seperti seorang
anak kecil didalam kerumuman yang ingin tau sesuatu hal, tertangkap mata Vino.
Ciki gelagapan, salah tingkah dan mukanya memerah. Sempat gadis manis ini
melihat senyum tipis terbesit diwajah rupawan Vino. Tapi ini malah membuatnya
merasa aneh, dia menunduk seketika, dan berusaha bersikap senormal mungkin.
“Ciiikkiiiiiiiii, ya ampun Cikiiii ah gimana sih .....”
suara lembut Lita terdengar gemas.
“Hehe, apa sih?” respon pertama Ciki untuk kalimat Lita yang
tidak jelas. “Tarik gue ke kelas cepet,” bisik Ciki.
“Ha? Emang kenapa?” Lita ikut berbisik, sambil cepat menarik
Ciki tanpa menunggu jawaban. Sempat Lita ingin menengok ke belakang tapi
tertahan oleh tatapan larangan Ciki.
Sejurus setelah agak menjauh dari pandangan Vino, Ciki
heboh. “Aaaahhhhh tadi Vino ngeliatin guueee. Salah tingkah gue, malaikat
banget deh loe, untung loe datang, makasi Lita, muaah.” Senyum Ciki lebar tak
tertahankan.
“Oohh pantes, dasar!” Cubitan kecil mendarat di kulit Ciki.
“Eh tadi kok loe bisa tidur gitu sih?” Lita terus berbicara tanpa menghiraukan
raut wajah cemberut Ciki yang kesakitan.
Mata Ciki mengerjap karena mendapatkan pertanyaan yang
penting baginya. “Gue nyelesaiin sweater rajut buat Vino.”
“Waaahhh, pasti bakal terhujam banget tuh jantungnya si
Vino” Lita tertawa kecil.
Sedetik kemudian raut wajah Ciki datar, dan diam. “Eh,
kenapa Cik?” Lita memperhatikan dan mendekat.
“Gue gak tau nanti berani ngasihin apa nggak, sweater rajut
itu terlalu konyol.”
“Ah Cik ayolah, gue hafal banget gimana hasil rajutan-rajutan elo, udah setara banget kayak yang ditoko-toko. Kayaknya bukan
itu deh alasan yang tepat buat jelasin ketakutan loe.”
Ciki menoleh dan menatap Lita “Iya Lit, gue yang takut.
Begonya gue bener-bener bikin dan nyelesaiin sweater itu.”
“Kok bego? Bagus dong, jadi gak loe simpen sendiri aja tuh
perasaan dari kelas X. Ini waktu yang tepat buat dia tau.”
“Gue gak ada nyali buat itu ...”
“Tapi setidaknya loe jangan sia-siain karya keren abis itu
deh. Apa salahnya memberikan sebuah hadiah di hari ulang tahunnya? Loe udah
bela-belain buat itu sweater masak nyerah buat diakhir doang sih?”
“Okelah, masih dipertimbangkan.”
“Haha gitu dong,” goda Lita. “Ada yang perlu gue bantu nih
buat kado ultahnya dia? Kurang 2 hari lagi kan?”
“Nggak ada kok Lit, udah beres, tinggal bungkus doang.” Ciki
tersenyum sebagai tanda trimakasih.
Kemudian Ciki kembali membahas kejadian di UKS tadi, membuat
dua sahabat ini tertawa bersama.
2 hari berlalu. Pagi ini Ciki sudah membawa kotak kado buat
Vino yang dihiasnya rapi dan indah. Dia sengaja datang pagi sekali, agar tidak
terlalu banyak teman lainnya yang tau. Ciki hafal bahwa Vino suka datang ke sekolah
pagi sekali. Jadi ini waktu yang tepat dari pada harus menenteng kotak kado dan
berjalan ke kelas Vino di jam istirahat nanti, pikirnya.
Jantungnya sudah cukup berdetak begitu cepat dengan hanya
menatap kado itu sendiri. Sedari tadi dia menenangkan hatinya untuk terlihat
biasa saja. Semakin cemas juga mengingat Lita belum datang. Memang Ciki sadar
jam 6 pagi ini adalah permintaan yang terlalu berat bagi Lita untuk ada di
sekolah. Karena rumah Lita memang agak jauh.
Bila harus menunggu Lita datang, Ciki takut malah nanti
banyak anak yang menyaksikan aksi keramat ini, menurutnya. Jadi dia bergegas
meluncur ke kelas Vino. Yang padahal dia hanya bisa melangkah kecil karna detak
jantungnya yang mulai memainkan musik hardcore.
“Hai Ciki, selamat pagi.” Tak disangka-sangka Vino si
rupawan menyapanya seperti itu, apalagi mereka jarang berbicara. Karna mereka
hanya sebatas kenal di club baca SMA Cendika. Yang aktivitasnya kebanyakan
membaca di perpustakaan, mengakibatkan dia susah cerewet untuk mencari tahu
banyak tentang Vino.
Akibat deg-degan hati Ciki yang begitu dahsyat, sedari tadi
dia hanya bisa jalan sambil menunduk, sehingga tak sadarkan diri bahwa sudah
berada di depan kelas Vino. Apalagi melihat Vino yang berada di depan kelas. Senyum
manis ramah Vino membuatnya lebih mudah merasakan dingin di pagi cerah itu. “Pagi
Vino.” Masih kata itu yang bisa terucap.
“Apa itu? Kado? Aku lagi ulang tahun loh, buat aku ya?”
Canda Vino saat melihat apa yang dipegang Ciki.
“Hehe, iya ini memang buat kamu. Selamat Ulang Tahun Vino.”
Senyum Ciki tulus sambil menyodorkan kado tersebut.
“Wah, trimakasih ya, boleh dibuka dong?” Vino menatap Ciki
senang.
“Iya boleh.” Dengan sedikit ketakutan dalam hati Ciki, cocokkah
ukuran sweater itu dengan ukuran Vino.
Sebuah sweater rajut berwarna biru terang dipandangnya
dengan ekspresi seperti yang diharapkan Ciki. Vino kenakan sweater itu, ternyata
lengannya terlalu panjang satu lipatan.
“Aahhh ... lengannya ...” ucap Ciki dengan ekspresi menganga
“sini aku bisa benerin lagi kok,” lanjut Ciki.
“Haha gak usah, kamu gimana sih.. baru juga dikasihkan aku
kok langsung diminta lagi?” Vino gemas. “Biar gini, aku suka kok. Jadi makin
suka Cikinya juga.” Vino berkata dengan mantap.
Ciki terkejut dengan kalimat Vino barusan. Dia tak menyadari
sama sekali bahwa Vino juga menyukainya sejak lama. Jantungnya mulai memainkan
musik hardcore lagi. Dia sampai tidak bisa berkata apa-apa. Seperti selayaknya
tingkah seorang anak remaja yang tertusuk panah cinta. Kini dia rasakan dunia
begitu indah. Lita, dia benar-benar harus bertrimakasih pada Lita pikirnya,
karna dia yang membantunya memberikan kekuatan untuk mengembalikan keberaniannya.
“Di hari ulang tahunmu ini, jadi siapa yang benar-benar dapat
surprize? Aku atau kamu Vin?” ucap Ciki dengan senyum lebar-lebar.